Sultan Muhammad Seman, Kisah Raja Terakhir Banjar

2 hours ago 3

Sultan Muhammad Seman tercatat sebagai sosok yang berpengaruh bagi Kesultanan Banjar. Dalam sejarahnya, ia merupakan sultan terakhir dari Kesultanan Banjar pada zaman dahulu. Sultan Seman sendiri sempat mempertahankan benteng pejuang Banjar terakhir di sungai Manawing bersama panglima suku Dayak. 

Baca Juga: Napak Tilas Pembangunan Gereja Santo Ignatius Cimahi

Kisah Sultan Muhammad Seman, Putra Pangeran Antasari

Sebagai putra dari pangeran Antasari, Sultan Seman turut berjuang bersama ayah dan para pendukungnya. Sepeninggal Pangeran Antasari, ia dinobatkan sebagai Sultan Banjar dan diberi amanah untuk meneruskan perlawanan terhadap penjajah. Dalam sejarahnya, Sultan Seman terus mempertahankan kedaulatan bangsa dan tanah Banjar dari penguasaan Belanda. 

Sosok Sultan Seman

Sultan Seman merupakan Sultan Banjar yang memerintah pada tahun 1862-1905. Saat itu, pemerintahan Banjar berada di Muara Teweh, Puruk Cahu, hulu Sungai Barito. Ia merupakan putra dari Pangeran Antasari dengan Nyai Fatimah dengan nama lahir Gusti Seman. 

Sebagai informasi, Sultan Muhammad Seman memiliki darah Dayak dari ibu kandungnya. Dalam silsilah keluarga, Sultan Seman memiliki empat orang istri. Di antaranya adalah Gusti Salmah, Nyai Banun, Nyai Mariamah dan Nyai Koepan. 

Perjuangan Bersama Suku Dayak

Sultan Seman memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan suku Dayak Murung. Hal ini tak lepas dari ibu kandungnya yang memang berasal dari suku Dayak tersebut. Sultan Seman memiliki toleransi terhadap adat dan kepercayaan masyarakat setempat. Hasilnya, masyarakat setempat hidup dengan harmonis, bahkan turut andil dalam melawan penjajahan Belanda. 

Ada beberapa nama panglima dan tumenggung yang terkenal aktif membantu perjuangan Sultan Seman. Diantaranya adalah Panglima Umbung dari Mangkatib, Mat Narung dari Putu Sibau dan Batu Putih dari Kapuas. Selain itu, ada pula Tumenggung Lawas, Tumenggung Tawilen, Tumenggung Nado, Panglima Bahe, Panglima Amit dan lainnya. 

Baca Juga: Yang Chil Sung, Kisah Gerilyawan Korea Rela Mati Demi Indonesia

Masa Perlawanan Terhadap Belanda

Pada tahun 1883, pasukan Sultan Muhammad Seman beroperasi di area Dusun Hulu. Mereka kemudian bergerak ke Telok Mayang dan mengadakan serangan terhadap pos-pos Belanda di Muara Teweh. 

Lanjut pada tahun 1888, Sultan Seman mendirikan masjid di Baras Kuning. Masjid ini rencananya akan menjadi tempat pergerakan Beratib Beramal. Hal tersebut menjadi dukungan penting untuk terus menggempur pertahanan Belanda di daerah Muara Teweh, Buntok, Balangan, Amuntai, Tanjung, Kandangan dan sepanjang Sungai Barito. 

Kemudian, Sultan Seman mendirikan benteng di daerah hilir Sungai Teweh. Usaha ini membuat Belanda semakin memperkuat posnya dengan menambah pasukan baru dan mendirikan pos darurat di Tuyun. Sementara itu, benteng perjuangan di Taweh semakin kuat dengan adanya pasukan bantuan serta tambahan makanan yang diangkut dari hutan. 

Di sisi lain, pihak pos Seman mulai terancam bahaya. Sebab, muncul kubu-kubu baru Belanda di sebelah utara dan selatan benteng. Hal ini menghalangi masuknya bahan makanan ke dalam benteng. Akibatnya, keadaan pasukan di dalamnya pun semakin kritis. 

Suatu ketika, Belanda menyerang benteng Sultan Seman. Akibatnya, pasukan terdesak dan terpaksa harus meloloskan diri. Setelah itu, Belanda mulai membakar benteng-benteng pertahanan Sultan Seman. 

Tak berhenti begitu saja, Sultan Muhammad Seman terus melakukan perlawanan hingga ke Kuala Kurun. Perlawanan sengit pun terjadi di Kalangbarah yang mengakibatkan banyak serdadu Belanda Tewas. Kabar baik ini menjadikan Sultan Seman terus mempertahankan benteng terakhirnya di Sungai Manawing. 

Akhir Hayat

Suatu ketika, benteng Manawing mulai mengalami serangan gencar dari Belanda. Pimpinan Belanda yang terkenal bengis dan ganas, Letnan Chirsopel, berhasil menyerbu benteng pada tahun 1905. Pertempuran yang tidak seimbang ini mengakibatkan Sultan Seman gugur di benteng Baras Kuning. 

Jenazah Sultan Seman kemudian dimakamkan di perbukitan bernama Gunung Sultan. Sekarang, lokasi ini berada di tengah kota Puruk Cahu, ibukota Kabupaten Murung Raya, Provinsi Kalimantan Tengah. Gugurnya Sultan Seman sekaligus menjadi sultan terakhir dari Kesultanan Banjar pada pemerintahan pelarian di area Barito. 

Gugurnya Sultan Seman menandai melemahnya perlawanan pejuang dalam Perang Banjar Barito. Perjuangan ini pun dilanjukan oleh putri dan menantunya, Ratu Zaleha dan Gusti Muhammad Arsyad. Keduanya masih terus berjuang bersama pasukan yang masih tersisa. 

Baca Juga: Jejak Situs Keramat Makam Jabang Bayi Cirebon

Sejarah mencatat bahwa Perang Banjar Barito akhirnya berakhir setelah Sultan Muhammad Seman gugur. Sebelum tewas, Sultan Muhammad Seman sempat menyerahkan bendera perang kepada pengawalnya, Patih Gangsar Mas. Penyerahan tersebut menyimbolkan agar bendera bisa diamankan dan tidak dirampas oleh kolonial Belanda. (R10/HR-Online)

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |