Sejarah Alun-Alun Kidul di Yogyakarta menyimpan kisah yang menarik dan sayang untuk dilewatkan pembahasannya. Masyarakat area Jogja tentunya sudah tidak asing dengan alun-alun yang terkenal dengan nama “alkid” tersebut. Tempat ini merupakan salah satu tujuan wisata yang ramai pengunjung di setiap harinya.
Letaknya cukup strategis berada di pusat kota Yogyakarta. Hal itu menjadikannya destinasi wisata yang nyaris tidak pernah sepi pengunjung. Setiap harinya, banyak warga Jogja dan turis memenuhi area tersebut untuk berlibur dan menikmati aktivitas serta kuliner di sana.
Baca Juga: Sejarah Museum Sangiran, Pusat Koleksi Fosil Manusia Purba di Jawa Tengah
Adapun berbagai aktivitas seperti olahraga, menikmati jajanan kuliner lokal, bermain gelembung sabun, layang-layang, naik kereta hias hingga sekedar duduk santai di atas rerumputan. Meskipun demikian, sebelum ramai pengunjung seperti saat ini, dahulunya alun-alun ini terkenal angker dan seram di mata masyarakat.
Untuk mengetahui lebih dalam terkait kisah sejarah dan fungsi Alun-Alun Kidul tersebut, simak selengkapnya dalam artikel berikut ini!
Sejarah Alun-Alun Kidul Yogyakarta dan Awal Pembangunannya
Alun-Alun Kidul, yang terletak di bagian belakang Keraton Yogyakarta, memiliki sejarah yang panjang dan menarik. Alun-alun ini berdiri pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I, yang memerintah pada tahun 1755 hingga 1792. Sebelumnya, Alun-Alun Kidul dikelilingi oleh pagar tembok batu bata setinggi sekitar 2 meter dan tebal 30 cm, yang berfungsi sebagai pembatas antara alun-alun dengan kawasan sekitar.
Namun, tembok tersebut mengalami kerusakan, dan tembok baru kemudian dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VII selama pemerintahannya pada 1877-1921. Pada masa lalu, Alun-Alun Kidul terkenal sebagai area yang sepi dan terkesan angker, sehingga banyak orang yang enggan melewati kawasan ini. Namun, pada tahun 1980-an, dengan adanya pembangunan jalan lingkar dan penambahan lampu penerangan, suasana di sekitar alun-alun mulai berubah.
Kawasan ini pun semakin ramai dan menjadi salah satu tempat yang lebih banyak pengunjungnya, baik oleh warga Yogyakarta maupun wisatawan. Seiring berjalannya waktu, Alun-Alun Kidul kini menjadi salah satu lokasi yang penting dalam kehidupan sosial dan budaya di Yogyakarta.
Sebagai Tempat Latihan Prajurit Keraton
Sejarah Alun-Alun Kidul Yogyakarta, terkenal dengan istilah Alun-Alun Pangkeran. Dulunya, tempat ini berfungsi sebagai tempat berbagai aktivitas Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat untuk mengadakan acara.
Salah satu fungsinya adalah sebagai tempat latihan para prajurit Keraton saat menjelang tradisi Garebeg setiap tahun yang diadakan tiga kali. Adapun ketiga acara tersebut yaitu Garebeg Mulud, Syawal, dan Grebeg Besar.
Alun-alun Selatan ini juga bermanfaat sebagai tempat menghadap bagi abdi dalem Wadana Prajurit dalam tradisi di bulan Puasa, tepatnya pada malam 23, 25, 27, dan 29 pada bulan tersebut.
Selain itu, pada saat masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII, setiap Senin dan Kamis siang, di tempat ini akan terselenggara berbagai aktivitas. Beberapa contohnya antara lain: pertandingan panahan, adu harimau dan kerbau, dan juga hiburan yang bertema tentang prajurit rampogan menangkap harimau.
Baca Juga: Sejarah Babad Dermayu yang Menceritakan Kisah Terbentuknya Kabupaten Indramayu
Tempat Mengikat Gajah Raja dan Menyeramkan di Malam Hari
Sejarah Alun-Alun Kidul Yogyakarta dulunya, di salah satu sudut tepatnya di lokasi tiga tiang yang terpancang berfungsi sebagai tempat mengikat gajah milik raja. Saat ini, gajah milik raja hanya keluar hanya saat upacara Grebeg berlangsung.
Disisi lain pada bagian depan Siti Hinggil yakni sebelah utara Alun-alun Kidul, terdapat deretan ubin yang dulu merupakan batu bata tempat raja menyaksikan latihan prajurit.
Hingga tahun 1980 M, kondisi alun-alun ini sangat sepi kecuali hari-hari tertentu seperti latihan para prajurit atau panahan. Selebihnya, jika tidak ada aktivitas apapun, akan terasa sepi dan menyeramkan terlebih saat malam hari.
Oleh karena itu, tidak ada orang yang berani melintasi area tempat tersebut. Namun pada malam yang bersinar bulan banyak terdapat anak dan remaja yang bermain di area itu. Mereka bermain tetabuhan tradisional sambil memanjat pohon beringin kembar.
Aset Pohon Beringin Kembar dan lainnya yang Eksis Hingga Kini
Sejarah Alun-Alun Kidul sangat identik dengan keberadaan Pohon Beringin Kembar. Pohon ini merupakan aset utama yang masih dipertahankan hingga saat ini. Ada juga pohon kweni, pohon pakel, dan pohon gayam. Bagi masyarakat Jawa, deretan pohon tersebut melambangkan keamanan, ketentraman dan juga nuansa keteduhan.
Selain pohon, akses keluar masuk Alkid yang berjumlah tujuh buah juga masih eksis hingga kini. Deretan jalan tersebut antara lain Plengkung Gading di sisi selatan. Kemudian di sisi timur masing-masing menuju Jalan Langenarjan dan Jalan Langenastran. Terdapat juga Jalan Pamengkang, serta di sisi barat ada Jalan Ngadisuryan dan Jalan Patehan.
Baca Juga: Sejarah Candi Sanggrahan Tulungagung, Peninggalan Kerajaan Majapahit Bercorak Budha
Demikian ulasan terkait sejarah Alun-Alun Kidul Yogyakarta yang perlu diketahui. Saat ini, tempat ini sangat ramai pengunjung baik dari wilayah Jogja sendiri bahkan hingga luar kota. Banyak masyarakat luar daerah yang sengaja datang untuk berekreasi dan juga mencari hajat Pohon Beringin Kembar. Sekedar informasi bahwa masyarakat meyakini bahwa siapa saja yang berhasil berjalan di antara kedua pohon dengan mata tertutup, maka hajatnya akan terkabul. (R10/HR-Online)