Susu Almond: Dari Buku Resep Arab ke Coffee Shop Kekinian

1 week ago 32

tirto.id - Sudah bukan hal aneh lagi ketika kita pergi ke sebuah coffee shop atau kafe, lalu mendengar barista atau pramusaji menawarkan untuk mengganti susu di latte kita dengan susu almond. Bersama susu kedelai dan oat, susu almond sudah menjadi opsi yang hampir selalu bisa ditemukan di tempat-tempat seperti itu. Dan biasanya, untuk mendapat latte susu almond, ada biaya ekstra yang mesti kita bayarkan.

Bagi kaum urban Indonesia saat ini, susu almond identik dengan kelas sosial tertentu. Dibuat dari hasil tanaman, rendah kalori, dan bebas laktosa, susu ini adalah minumannya para influencer kesehatan dan kelas menengah atas yang begitu memperhatikan diet.

Namun, jauh sebelum itu, susu almond telah mengalami perjalanan panjang dalam sejarah. Di sini kita tidak berbicara soal dasawarsa, melainkan sejarah berabad-abad.

Dari Cara Bertahan Hidup Jadi Lambang Status

Menurut Kitab al-Tabikh, susu almond pertama kali dikonsumsi pada abad ke-10 di Baghdad yang sekarang menjadi ibu kota Irak. Sejak itu, susu almond berkembang luas ke berbagai wilayah sekitar, bahkan hingga ke Mediterania. Minuman ini pun begitu populer di kalangan orang Islam, Kristen, maupun Yahudi.

Seperti pada masa modern, susu almond ketika itu juga merupakan alternatif pengganti susu dari hewan, baik sapi, kambing, maupun unta. Akan tetapi, alasan mengapa susu almond menjadi alternatif susu hewani berbeda dengan saat ini. Jika sekarang susu almond adalah opsi untuk hidup lebih sehat, pada awal perkembangannya ia adalah salah satu cara untuk bertahan hidup.

Ilustrasi susu almondIlustrasi susu almond. FOTO/iStockphoto

Ketiadaan lemari es sebagai tempat penyimpanan membuat susu hewani cepat basi. Selain itu, khususnya bagi pemeluk Kristen pada Abad Pertengahan, ada larangan mengonsumsi susu hewani dari para pemuka agama di masa-masa jelang Paskah. Ini adalah masa-masa Lent, atau masa di mana para pemeluk Kristen menjalani puasa pantangan. Daging serta produk-produk hewani lain dilarang dikonsumsi pada waktu-waktu tersebut kala itu.

Maka, susu almond pun muncul sebagai solusi. Dan susu almond saat itu tidak hanya dikonsumsi dengan cara diminum, melainkan bisa diolah menjadi aneka jenis sup, saus, maupun kudapan pencuci mulut. Teksturnya creamy layaknya susu hewani tetapi lebih awet dan tidak cepat basi.

Apa yang berawal dari cara bertahan hidup kemudian berkembang menjadi perlambang status. Ya, memasuki abad ke-13, ternyata susu almond telah menjadi simbol kemewahan tersendiri. Informasi ini turut disertakan dalam Kitab al-Tabikh oleh penyusunnya, Ibnu Sayyar al-Warraq. Kitab ini merupakan buku resep kuno berisikan 600 lebih resep masakan yang penyusunannya, konon, dipatroni oleh Pangeran Saif al-Daulah dari Aleppo (sekarang bagian dari Suriah).

Pada masa yang sama, manfaat kesehatan almond juga akhirnya ditemukan. Ibnu Sina, bapak kedokteran dunia, misalnya, menyarankan konsumsi susu almond untuk meredakan masalah pernapasan. Belakangan, manfaat-manfaat kesehatan lain dari susu almond juga turut ditemukan, mulai dari menjaga kesehatan kulit dan rambut, menjaga tekanan darah, menjaga berat badan, memperkuat tulang, hingga menurunkan risiko sakit jantung.

Dan tentu saja, bagi orang-orang yang tidak dapat mencerna susu hewani dengan baik (lactose intolerant), susu almond bisa jadi pengganti yang tak kalah sedap.

Produksi Massal dan Ancaman Lingkungan

Dari Timur Tengah, lalu ke Eropa, dan setelah itu susu almond menyebar ke belahan dunia lain. Aktivitas perdagangan serta meluasnya pengaruh imperium Islam menjadi dua faktor utama mengapa susu almond bisa sampai ke India serta Sri Lanka. Di dua wilayah ini, susu almond memiliki peran baru, yaitu sebagai salah satu perlengkapan upacara keagamaan. Selain itu, pengobatan tradisional India, Ayurveda, juga menggunakan susu almond sebagai salah satu obatnya.

Meski penyebarannya semakin luas, akses terhadap susu almond justru semakin sulit bagi orang kebanyakan. Sebab, dalam proses penyebarannya, minuman ini diberi cap sebagai barang mewah. Proses pembuatannya yang relatif sulit membuat susu almond, terutama yang kemudian diekspor ke wilayah-wilayah baru seperti Tiongkok dan Jepang, menjadi barang mahal yang hanya bisa dikonsumsi kalangan tertentu.

Bisa dikatakan, status almond mulai "menurun" saat dunia sudah memasuki abad ke-20. Semakin tingginya kesadaran akan makanan dan minuman sehat membuat permintaan terhadap susu almond meningkat drastis. Hingga akhirnya, pada awal abad ke-21, susu almond diproduksi massal oleh jenama-jenama macam Silk dan Califia Farms. Inilah yang kemudian membuat akses terhadap susu almond semakin mudah bagi masyarakat kebanyakan.

Ilustrasi susu almondIlustrasi susu almond. FOTO/iStockphoto

Susu almond pun tidak hanya populer di kalangan vegetarian, vegan, atau orang-orang lactoseintolerant, melainkan juga mereka yang peduli dengan lingkungan. Air yang dibutuhkan untuk menumbuhkan pohon almond lebih sedikit dibandingkan dengan untuk memelihara sapi, misalnya. Dengan demikian, pertanian almond pun menghasilkan jejak karbon yang lebih sedikit.

Meski demikian, industri susu almond bukannya tidak lepas dari kritik, termasuk soal lingkungan. Saat ini, 80 persen almond diproduksi di negara bagian California, Amerika Serikat. Kendati air yang dibutuhkan untuk pertanian almond relatif lebih sedikit ketimbang untuk beternak sapi perah, bukan berarti jumlah air yang dibutuhkannya sedikit. Diperkirakan, untuk menghasilkan sebiji almond saja diperlukan air sekitar 3,7 liter (bahkan bisa lebih tinggi lagi). Di tengah kekeringan yang melanda California, amat wajar apabila aktivitas pertanian almond di sana mulai dipertanyakan, bahkan dikritik keras.

Kritik kedua berkaitan dengan kondisi para pekerja di pertanian almond. Sebuah artikel dari Bastyr University pada 2023 pernah menyoroti hal ini. Terutama pada masa panen, para pekerja mesti dihadapkan pada masalah-masalah seperti waktu kerja yang terlalu panjang, gaji yang tidak setimpal, serta keselamatan kerja yang tidak terlalu diperhatikan.

Kemudian, ada juga kritik soal penggunaan pestisida berlebihan. Pertanian monokultur seperti almond memang membutuhkan penggunaan banyak pestisida serta pupuk buatan yang kemudian mengganggu ekosistem serta biodiversitas di wilayah tersebut. Ini belum termasuk bagaimana pertanian almond menyebabkan kematian besar-besaran pada lebah yang digunakan untuk menyerbuki bunga tanaman. Kematian lebah dalam jumlah besar ini sangat berbahaya karena lebah adalah penyerbuk alami yang menjaga stabilitas biodiversitas planet.

Biarkan Tetap Jadi Minuman Mewah

Namun, terlepas dari segala persoalan yang ada, permintaan susu almond terus meningkat. Pada 2024, nilai industri susu almond mencapai USD5,9 miliar. Diperkirakan, pada 2034 mendatang, nilainya bisa sampai USD14,2 miliar. Ini, tentu saja, tidak bisa dipisahkan dari bagaimana popularitas susu almond terus merangsek ke wilayah-wilayah di mana ia sebelumnya belum begitu masyhur. Salah satunya? Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Tidak ada data atau catatan yang mampu secara definitif menentukan kapan sebenarnya susu almond mulai masuk ke Indonesia. Namun, diperkirakan popularitasnya melejit drastis pada 2014 seiring dengan semakin populernya gaya hidup sehat serta budaya ngopi di coffee shop.

Di Indonesia, susu nabati sebetulnya bukan barang baru. Susu kedelai, misalnya, sudah diproduksi di Nusantara sejak abad ke-17 berkat hubungan dagang dengan Tiongkok. Kini, keberadaan susu almond serta susu oat pun menambah khazanah gizi masyarakat Indonesia. Namun, tak seperti susu kedelai yang sudah merakyat, susu almond dan oat di Indonesia masih jadi barang mewah.

Apakah nantinya susu almond bisa lebih merakyat lagi? Mungkin saja. Akan tetapi, untuk mencapai titik tersebut, industrialisasi besar-besaran jelas akan diperlukan seperti yang sudah ada di California. Di sinilah dilema bakal terjadi. Ya, susu almond yang lebih sehat itu bakal bisa dikonsumsi lebih banyak orang. Namun, ongkos lingkungan untuk mewujudkan itu tentu tidak main-main. Belum lagi jika kita bicara soal bagaimana industri almond memperlakukan pekerjanya.

Oleh karena itu, setidaknya sampai ada cara lebih baik yang ditemukan, mungkin kita masih perlu membiarkan susu almond menjadi minuman mewah. Bukan untuk gaya-gayaan, tentunya, tetapi demi kelestarian lingkungan.


tirto.id - News

Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |