Di Balik Sepinya Pasar Seni Sukawati Tahun Ini

3 weeks ago 37

tirto.id - Libur Lebaran telah berakhir dan wisatawan domestik sudah mulai beranjak meninggalkan Bali. Namun, Pasar Seni Sukawati, di jantung Kabupaten Gianyar, masih setia disinggahi oleh wisatawan yang berniat menjelajahi karya seni. Pasar yang sudah eksis dari tahun 1985 ini dikenal sebagai surga belanja untuk mereka yang ingin mencari karya seni atau buah tangan dari pengrajin lokal dengan harga terjangkau.

Pengunjung masuk bagaikan semut ke tiga bagian bangunan dari Pasar Seni Sukawati, yakni Blok A, Blok B, dan Blok C. Di dalam, mereka lantas berpencar lagi untuk mencari barang yang mereka inginkan. Tidak jarang, mereka berdiam diri cukup lama di salah satu los pedagang untuk bertanya mengenai informasi barang atau menawar harga dengan sang penjual.

Sayangnya, upaya bertanya dan menawar tersebut tidak dibersamai dengan pembelian. Para pedagang mengeluh bahwa pengunjung lebih banyak singgah untuk melihat, ketimbang untuk bertransaksi. Dibandingkan dengan libur Lebaran tahun sebelumnya, tahun ini menjadi mimpi buruk para pedagang karena terpuruknya transaksi.

“Cukup ramai, tapi untuk penjualan peningkatannya hanya sedikit dibandingkan hari biasa. Dibandingkan hari biasa, ini hanya meningkat 5 persen. Sedikit sekali, tidak seperti dulu ramainya,” keluh Made, seorang pedagang kain di Blok A Pasar Seni Sukawati, kepada Tirto yang sedang berkunjung ke sana, Senin (07/04/2025).

Made mengaku sepinya pembeli sudah berlangsung cukup lama, bahkan sebelum libur Lebaran dimulai. Sehari-harinya, Made hanya meraup untung sebesar Rp100.000 dari penjualan pakaian dan kain di Pasar Seni Sukawati. Untuk melariskan dagangannya saja, dia harus berusaha menjajakan dagangannya hingga petang.

 Pasar Seni Sukawati Kondisi Pasar Seni Sukawati di Kabupaten Gianyar pada Senin (07/04/2025) di sore hari. Terlihat pasar cukup lenggang, dengan beberapa wisatawan melihat-lihat barang yang dijajakan para penjual. Tirto.id/Sandra Gisela

Variasi produk yang ditawarkan Pasar Seni Sukawati rupanya dikalahkan oleh pusat oleh-oleh besar yang beroperasi di bagian selatan Bali, seperti Krisna atau Joger. Sebelum berkunjung ke Sukawati, wisatawan biasanya sudah lebih dahulu berkunjung ke pusat oleh-oleh tersebut. Padahal, nuansa tawar menawar tradisional masih kentara, sehingga pembeli bisa mendapatkan harga yang lebih murah.

“Di sini seharusnya lebih murah. Di sini tawar menawar, di sana harga pas. Untuk baju, di sini Rp100.000 sudah bisa dapat enam,” terangnya.

Selain pusat oleh-oleh, Made mengungkap bahwa Pasar Seni Sukawati menjadi lebih sepi usai direvitalisasi pada tahun 2020. Dahulu, pasar tersebut merupakan pasar tradisional dengan produk yang lebih heterogen. Pedagang dapat menjual kain, pakaian, suvenir, dan lukisan dalam satu los sekaligus.

Namun, usai direvitalisasi dan ditata, penjual hanya dapat menjual satu jenis barang sesuai dengan penempatan los atau kios pedagang tersebut. Misalnya, lantai 1 di Blok A hanya dapat menjual pakaian dan kain, sementara lantai dasar di Blok A hanya dapat menjual lukisan, ukiran, dan patung.

“Pasar ini dirombak jadi lebih baru. Sekarang lebih susah mencari tamunya. Sama semua dagangnya (produk yang ditawarkan), jadi dia (pengunjung) malas. Kalau dulu (produknya) campur,” imbuh Made.

Nasib serupa juga dialami oleh Lasti, seorang penjual suvenir di Blok A Pasar Seni Sukawati. Meskipun peningkatan sudah terlihat selama satu minggu di libur Lebaran, tetapi transaksi di pasar tersebut masih lesu seperti hari-hari biasa. Keuntungan yang didapatkan per harinya pun tidak menentu, bahkan ada kalanya tidak ada pelanggan yang membeli di los suvenir miliknya.

“Mungkin keadaan ekonomi sekarang lagi tidak bagus. Kalau dulu, dari awal libur itu sudah ramai. Sekarang dari tahun baru sudah tidak begitu ramai. Mayoritas hanya melihat-lihat saja, tapi kadang ada yang beli sendok atau aksesoris,” kata Lasti.

Penjual karya seni, seperti patung dan lukisan, rupanya lebih terpuruk lagi. Mastra, seorang penjual patung kayu, mengaku transaksi di tokonya menurun jauh. Penjualan patung dan lukisan sejatinya memang terkendala di ukuran dan berat barang, tetapi tahun ini dinilai jauh lebih sulit dibandingkan Lebaran periode sebelumnya.

“Menjualnya ke tamu-tamu lokal, tidak melulu mancanegara. Sekarang tidak tentu juga, terkadang dia (pengunjung) cocok, ditanyakan (informasinya) dan membeli, tapi terkadang juga tidak ada sama sekali,” jelas Mastra.

 Pasar Seni Sukawati Kondisi Pasar Seni Sukawati di Kabupaten Gianyar pada Senin (07/04/2025) di sore hari. Terlihat pasar cukup lenggang, dengan beberapa wisatawan melihat-lihat barang yang dijajakan para penjual. Tirto.id/Sandra Gisela

Mastra biasanya menggunakan persuasi dari mulut ke mulut untuk menarik pengunjung. Dia membiarkan pengunjung untuk melihat-lihat atau mengambil foto dari barang dagangan miliknya. Tidak jarang, dia akan memberikan kartu nama agar pengunjung bisa menghubungi kembali dirinya apabila berminat.

“Kita biarkan tamu nyaman, berikan keleluasaan dia jalan. Kalau dia memang punya pemikiran untuk cari patung, kita persilakan. Kita mengutamakan kenyamanan tamu di sini, tidak terlalu agresif (menjajakan dagangan),” ujarnya.

Lonjakan pengunjung juga tidak terlalu terlihat usai gedung Pasar Seni Sukawati direvitalisasi. Menurut Mastra yang sudah berdagang semenjak awal didirikannya pasar tersebut, semenjak revitalisasi, pengunjung yang datang ke pasar tersebut sudah terbagi ke berbagai lantai karena menggunakan elevator.

“Kalau dulu, tamu lewat tangga. Tamu masuk, sudah kelihatan banyak, apalagi kalau libur-libur sekolah. Sangat terasa, sekarang kelihatan sepi. Dulu di sini pun 60 persen pedagang patung karena bisa sambil menjual suvenir, sekarang tidak lagi,” ungkapnya.

Penyebab Anomali di Pasar Seni Sukawati

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Undiknas Denpasar, Ida Bagus Raka Suardana, menilai sepinya pasar oleh-oleh tradisional di tengah meningkatnya kunjungan wisatawan dipengaruhi oleh perubahan pola konsumsi wisatawan yang lebih menyukai kenyamanan. Menukil laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, ia menyebut, 72,3 persen wisatawan domestik di Bali memilih berbelanja di pusat oleh-oleh modern yang lebih dikenal dan diakses.

“Turut terpengaruh juga oleh keterbatasan akses informasi dan promosi digital dari pasar tradisional, serta minimnya integrasi pasar dengan destinasi wisata utama,” ujar Raka kepada Tirto, Senin (07/04/2025).

Meskipun Pasar Seni Sukawati telah direvitalisasi dengan tujuan meningkatkan kenyamanan dan daya saing, pasar tersebut belum memiliki strategi promosi dan adaptasi terhadap perilaku konsumen yang mumpuni. Raka juga sempat mengunjungi Pasar Seni Sukawati dan mendapati bahwa para pedagang menilai kios-kios yang ada ditata terlalu formal.

“Penataan dari kios yang terlalu formal dan kehilangan kesan tradisional membuat pasar terasa kurang ‘hidup’, serta menurunkan daya tarik spontan wisatawan untuk singgah dan berinteraksi,” tambahnya.

Toko oleh-oleh modern saat ini juga menawarkan kepraktisan, parkir yang luas, pendingin ruangan, sistem pembayaran digital, dan produk dalam kemasan siap bawa yang disukai wisatawan masa kini yang harus mengejar efisiensi waktu. Raka menilai, hal-hal tersebut yang menjadi faktor penarik pengunjung ke toko oleh-oleh modern.

“Meski harga pasar tradisional lebih murah, ketidakpastian soal kualitas, proses tawar-menawar yang melelahkan, dan minimnya kenyamanan membuat wisatawan lebih memilih toko modern sebagai opsi utama berbelanja oleh-oleh,” kata Raka.

Senada, pengamat ekonomi, Jro Gde Sudibya, menilai wisatawan yang datang ke Bali tidak lagi memiliki pola berbelanja oleh-oleh. Para pelancong, terutama domestik, cenderung ingin mengunjungi tempat yang bagus untuk berfoto dan mengunggahnya secara langsung ke media sosial. Selain itu, tren penurunan daya beli masyarakat juga memiliki porsi dalam berkurangnya pembelian oleh-oleh di Pasar Seni Sukawati.

“Mereka itu tidak lagi belanja suvenir. Ada kecenderungan wisatawan melakukan pengeluaran yang lebih kecil. Begitu mereka memilih hotel, vila, penginapan, mereka memilih yang lebih sederhana. Anggaran untuk suvenir pun akan sangat terbatas,” ungkap Sudibya.

Sudibya menilai, pergeseran tersebut sudah berlangsung cukup lama. Dengan daya beli yang menurun dan keterbatasan anggaran, wisatawan lantas memotong anggaran belanja yang berkaitan dengan pembelian suvenir. Selain itu, pola belanja secara daring juga menjadi hantaman bagi pusat oleh-oleh tradisional, seperti Pasar Seni Sukawati.

“Apalagi di liburan Lebaran ini tampak terjadi penurunan daya beli masyarakat. Namun, sebagian besar masyarakat punya pola untuk tetap berlibur dengan budget yang terbatas. Sudah tentu pengeluaran untuk suvenir itu dikurangi anggarannya. Mereka lebih ke tempat wisata, tempat yang kira-kira bagus untuk mereka berfoto,” jelasnya.

Langkah Meningkatkan Daya Saing Pasar Seni Sukawati

Raka dari Undiknas menilai, pemerintah harus mendukung para pedagang dengan pelatihan digital marketing, insentif promosi, integrasi Pasar Seni Sukawati dalam paket wisata resmi Gianyar, serta penambahan moda transportasi ramah wisatawan menuju pasar sebagai upaya mendorong distribusi arus wisatawan secara lebih merata.

“Dari sisi pedagang, paling tidak meliputi peningkatan pelayanan berbasis keramahan khas Bali, digitalisasi promosi lewat media sosial dan e-commerce, serta kolaborasi dengan agen perjalanan wisata,” beber Raka.

 Pasar Seni Sukawati Kondisi Pasar Seni Sukawati di Kabupaten Gianyar pada Senin (07/04/2025) di sore hari. Terlihat pasar cukup lenggang, dengan beberapa wisatawan melihat-lihat barang yang dijajakan para penjual. Tirto.id/Sandra Gisela

Sudibya mengatakan wisatawan, terutama mancanegara, memiliki kecenderungan berkunjung ke pasar tradisional yang memiliki interaksi sosial, kekhasan budaya pedesaan, dan suasana lingkungan pedesaan. Oleh sebab itu, pemerintah dan pasar itu sendiri harus melakukan inovasi untuk mengakomodasi kecenderungan tersebut.

“Hampir semua Pemda di Bali mendesain pasar bertingkat. Di pasar bertingkat ini, UMKM tidak sanggup menyewa tempat. Kemudian, mereka tidak terbiasa melakukan penjualan di pasar-pasar bertingkat yang dibangun pemerintah. Tentu ada juga kecenderungan wisatawan tidak mau naik ke lantai 2 atau 3,” jelasnya.

Menurut Sudibya, pemerintah daerah perlu menata ulang pasar-pasar agar lebih menggambarkan suasana khas pedesaan, misalnya dengan menggunakan unit pasar yang lebih kecil dan dekat dengan pedesaan. Penataan tersebut dinilai dapat memberikan pola atau suasana lain bagi wisatawan, baik asing maupun domestik.

“Masalah pembangunan pasar di hampir semua kabupaten dan kota yang ada di Bali adalah kurang memikirkan pola kebiasaan menjual dari penjual UMKM itu sendiri dan pola membeli dari masyarakat atau konsumen yang punya kekhasan atau ada kecenderungan tidak mau naik ke lantai dua atau tiga,” terang Sudibya.

Alih-alih gedung bertingkat, pola penataan pasar yang tradisional akan membuat pasar dapat disebar ke sejumlah desa. Hal tersebut memungkinkan wisatawan yang jenuh melihat kemacetan bisa berkunjung ke sejumlah pasar dan melihat produk kerajinan lokal khas daerah tersebut.

“Semua daerah punya kekhasan. Sama saja kalau kita datang ke Eropa, ada kekhasan apabila berbelanja di kawasan-kawasan tertentu di Paris, berbeda dengan kawasan tertentu yang ada di Milan. Ada kekhasan yang harus dirawat, yang membuat wisatawan punya keingintahuan yang lebih banyak,” tutupnya.

Baca juga artikel terkait WISATAWAN BALI atau tulisan lainnya


tirto.id - News

Kontributor: Sandra Gisela
Editor: Farida Susanty

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |